Saat Profesi Wartawan Tercemar: Pers atau Alat Pemerasan?

Caption : Mung Harsanto SE (Kepala KBO Babel/Wakil Ketua PJS Babel)

Profesi wartawan adalah pilar utama dalam menjaga demokrasi dan memberikan informasi yang jujur kepada publik. Namun, kebebasan pers yang diperjuangkan dengan susah payah kini terancam oleh ulah segelintir oknum yang menjadikan jurnalisme sebagai alat pemerasan. Fenomena ini semakin parah dengan menjamurnya media online yang tidak memiliki standar rekrutmen ketat, sehingga memungkinkan siapa saja—termasuk mantan residivis dan eks polisi pecatan karena kasus peredaran narkoba—untuk menjadi wartawan, bahkan pimpinan redaksi!

Kasus terbaru melibatkan SDO alias PJL, pemimpin redaksi media online  di Riau yang sebelumnya dipecat dari kepolisian karena keterlibatannya dalam peredaran narkoba. Lebih tragis lagi, ia baru saja keluar dari penjara akibat penyalahgunaan profesi pers untuk melakukan pemerasan. Dengan latar belakang yang penuh noda hitam, ia tetap diangkat menjadi pimpinan redaksi oleh media online yang abai terhadap rekam jejak dan kompetensi jurnalistik. Inilah contoh nyata bagaimana profesi mulia ini dirusak oleh tangan-tangan kotor.

Lebih dari sekadar mengkhianati profesi, oknum wartawan seperti ini kerap menghasilkan berita yang tidak berimbang, tendensius, dan jauh dari standar jurnalistik. Mereka tidak melakukan verifikasi, tidak mengonfirmasi narasumber, dan menulis berita hanya untuk menekan atau menjatuhkan seseorang demi kepentingan pribadi. Berita dibuat bukan untuk mengedukasi masyarakat, melainkan untuk “bermain harga” dalam negosiasi kotor.

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dengan tegas mengatur bahwa wartawan harus menaati Kode Etik Jurnalistik (KEJ) dan bekerja berdasarkan prinsip independensi, keberimbangan, serta kebenaran. Pasal 7 ayat (2) UU Pers menggarisbawahi bahwa seorang wartawan wajib menjalankan tugasnya secara profesional. Tapi faktanya, ada media yang justru mengangkat individu dengan rekam jejak kriminal menjadi pemimpin redaksi, seolah-olah kebebasan pers bisa diperjualbelikan.

Celakanya, praktik pemerasan berkedok jurnalistik ini semakin marak. Modusnya pun beragam: menerbitkan berita negatif tentang seseorang atau sebuah lembaga, lalu menawarkan kompromi dengan imbalan uang agar berita tersebut dihapus. Ini bukan sekadar pelanggaran kode etik, tetapi juga kejahatan yang harus ditindak secara hukum. Pers yang seharusnya menjadi pilar demokrasi malah berubah menjadi alat pemerasan, dan ini adalah ancaman serius bagi ekosistem media yang sehat.

Jika memang ada dugaan penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat atau individu tertentu, jurnalis yang profesional harus mengungkapnya berdasarkan fakta, bukti, dan konfirmasi dari berbagai pihak. Namun, jika berita dibuat hanya untuk menekan pihak tertentu agar tunduk pada kepentingan pribadi wartawan, maka ini bukan lagi jurnalisme, melainkan aksi kriminal dengan kemasan jurnalistik.

Saatnya Dewan Pers (DP) dan Dewan Pers Indonesia (DPI) dan Organisasi Profesi Pers turun tangan lebih tegas. Media yang merekrut individu tanpa kompetensi harus dievaluasi, dan wartawan yang tidak memiliki sertifikasi harus dilarang menjalankan tugas jurnalistik. Pemilik media juga harus lebih selektif dalam merekrut wartawan, memastikan bahwa mereka memiliki sertifikasi kompetensi dan rekam jejak yang bersih sebelum diberi tanggung jawab strategis.

Lebih dari itu, masyarakat harus lebih kritis dalam mengonsumsi berita. Jangan mudah percaya dengan media yang kerap membuat berita provokatif tanpa bukti yang kuat. Jika menemukan indikasi berita yang digunakan untuk pemerasan atau kepentingan pribadi, segera laporkan ke pihak berwenang agar oknum-oknum ini tidak semakin merajalela.

Kita tidak boleh membiarkan segelintir oknum merusak marwah profesi wartawan. Kebebasan pers harus tetap dijaga, tetapi dengan tanggung jawab yang besar. Wartawan sejati adalah mereka yang bekerja berdasarkan etika, kebenaran, dan profesionalisme—bukan mereka yang menjadikan pers sebagai alat untuk mencari keuntungan pribadi dengan cara yang hina.

Jika kita tidak membersihkan dunia jurnalistik dari oknum-oknum ini, maka profesi wartawan akan semakin kehilangan kehormatannya. Saatnya kita bersatu, melawan para perusak profesi, dan mengembalikan jurnalisme ke jalur yang benar. Jika bukan kita yang menjaga profesi ini, lalu siapa lagi?  (*)


Penulis :
Mung Harsanto SE, Ia serorang wartawan bersertifkasi kompetensi, juga aktif di berbagai organisasi  dan memegang jabatan penting diantaranya: Kepala Kantor Berita Online (KBO) Bangka Belitung yang berkedudukan di Kota Pangkalpinang, Wakil Ketua DPD  Pro Jurnalis Media Siber (PJS) BABEL.

Catatan Redaksi :
————————————
Apabila ada pihak yang merasa dirugikan dan atau keberatan dalam penyajian artikel, opini atau pun pemberitaan tersebut diatas, Anda dapat mengirimkan artikel dan atau berita berisi sanggahan atau koreksi kepada redaksi media kami, sebagaimana diatur dalam pasal 1 ayat (11) dan ayat (12) undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers.

Berita dan atau opini tersebut dapat dikirimkan ke Redaksi media kami melalui email atau nomor whatsapp seperti yang tertera di box Redaksi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak

Terimakasih telah berkunjung di website portal berita okepak.online.. Semoga anda senang!!
close