Pematangsiantar — Aroma tajam dugaan pembiaran aparat hukum terhadap peredaran narkoba di Tempat Hiburan Malam (THM) Studio 21, Jalan Parapat, Pematangsiantar, kini kembali menjadi sorotan. Jumat (18/4/2025).
Dewan Pimpinan Pusat Komunitas Masyarakat Peduli Indonesia Baru (DPP KOMPI B) dengan lantang mempertanyakan sikap Kapolres Pematangsiantar yang baru, AKBP Sah Udur Togi Marito Sitinjak, terkait minimnya penindakan terhadap tempat yang diduga telah lama menjadi pusat peredaran pil ekstasi.
Ketua DPP KOMPI B, Henderson Silalahi, menyebut bahwa keberadaan Studio 21 sudah terlalu lama menjadi buah bibir masyarakat. Meski banyak laporan dan keluhan warga yang mencurigai tempat ini sebagai "pasar gelap" narkotika, namun hingga kini, tak ada gebrakan berarti dari aparat, baik dari Polres maupun BNNK Pematangsiantar.
"Ini bukan isu baru. Masyarakat sudah lama teriak, tapi tidak pernah ada tindakan nyata. Jangan sampai masyarakat menilai bahwa aparat justru bermain mata dengan pelaku," ujar Henderson, Jumat (18/4/2025).
Studio 21, yang beroperasi dengan kedok hotel dan karaoke, disebut telah berulang kali dijadikan lokasi pesta narkoba terselubung. Dalam banyak laporan warga, tempat ini kerap dipenuhi pengunjung yang diduga mengonsumsi ekstasi dan minuman keras, dengan pengawasan yang sangat longgar.
Ironisnya, tempat ini seperti kebal hukum—seolah memiliki ‘tameng tak terlihat’ dari razia dan penggerebekan.
DPP KOMPI B pun mendesak dilakukan razia gabungan besar-besaran yang melibatkan Polres, BNNK, TNI, dan Satpol PP. Razia tersebut, kata Henderson, harus menyasar seluruh pengunjung dan karyawan melalui tes urine untuk memastikan apakah benar Studio 21 menjadi pusat konsumsi narkotika.
"Kami tidak minta banyak. Cuma minta Kapolres dan BNN turun langsung, uji urine semua yang ada di dalam. Kalau tempat itu bersih, tentu tidak akan keberatan. Tapi kalau ada yang positif, tutup langsung!" tegasnya.
Tak hanya itu, DPP KOMPI B juga menuding ada praktik-praktik busuk di balik mulusnya operasional Studio 21. Seorang oknum berinisial CP dituding sebagai pengatur “uang stabil”—uang tutup mulut agar Studio 21 tetap aman dari gangguan aparat.
Parahnya lagi, Henderson menyebut bahwa CP bahkan menyebarkan ancaman terhadap wartawan yang menyoroti persoalan ini.
"Jangan ada teror terhadap pers. Wartawan bekerja untuk kepentingan publik. Kalau sampai diteror, ini bukan hanya kriminal, tapi juga pelanggaran HAM," ujarnya geram.
Menurut Henderson, kasus ini akan menjadi ujian awal bagi Kapolres baru. Jika benar ingin menegakkan semangat Astacita Presiden Prabowo—khususnya dalam pemberantasan narkoba—maka tindakan nyata adalah jawabannya, bukan sekadar pencitraan atau pernyataan normatif.
"Kalau Polres tidak bisa bertindak tegas terhadap tempat seperti ini, maka kredibilitas institusi akan dipertanyakan. Presiden Prabowo saja serius perangi narkoba, masa Kapolres Siantar kalah seriusnya?" ujarnya.
Henderson bahkan menyindir logika operasional Studio 21. "Apa iya orang ke Studio 21 cuma buat minum teh manis? Minimal mereka mabuk, dan kalau bicara ekstasi, itu sudah jadi rahasia umum. Jangan pura-pura buta," tandasnya.
Dalam konteks pemberantasan narkoba, kata dia, pembiaran adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi dan janji institusi Polri kepada rakyat.
Karena itu, ia berharap masyarakat terus bersuara dan media tetap kritis dalam mengawal isu ini.
"Jangan biarkan ruang gelap merajalela. Negara tidak boleh kalah dari kelompok penyebar racun generasi muda," pungkasnya.
Saat berita ini diturunkan, belum ada tanggapan resmi dari Polres Pematangsiantar maupun BNNK terkait desakan DPP KOMPI B. Namun masyarakat kini menanti, apakah Kapolres baru akan mampu menjawab tantangan atau justru ikut terjebak dalam pusaran pembiaran.
(Sumber : Zulfiandi Pematangsiantar/KBO Babel)
Tags
Peristiwa