Bangka Selatan –
Deru mesin ponton kini menggantikan suara ombak di pesisir Payak Ubi, Kecamatan Toboali, Kabupaten Bangka Selatan. Setiap hari, tambang timah ilegal beroperasi dengan leluasa, menciptakan kerusakan lingkungan dan luka sosial yang dalam. Ironisnya, aktivitas ini berjalan seolah tak tersentuh hukum, bahkan diduga dikoordinasi secara sistematis melalui jalur setoran.
Nelayan yang sejak lama bergantung pada laut sebagai sumber nafkah kini hanya bisa pasrah. Ponton-ponton tambang jenis Ponton Isap Produksi (PIP) dan TI Tungau tak hanya memenuhi wilayah tangkapan ikan, tapi juga merusak ekosistem pesisir. Laut yang dulunya hidup kini berubah menjadi zona konflik, dikuasai oleh tambang-tambang tanpa izin yang beroperasi terang-terangan.
Menurut penuturan seorang narasumber yang identitasnya dirahasiakan, kegiatan tambang ilegal ini dikendalikan oleh seseorang bernama Bani alias Bagong. Ia disebut sebagai sosok sentral yang mengatur distribusi ponton serta menetapkan besaran “fee” atau setoran dari para penambang agar bisa beroperasi di wilayah tersebut.
"Setiap yang mau menambang wajib setor ke Bagong. Semua sudah tahu itu," ujar narasumber.
Tak berhenti sampai di situ, muncul pula dugaan keterlibatan seorang oknum TNI berinisial MG, yang disebut membekingi jalannya operasi tambang. Nama MG, yang diketahui berdinas di Kodim Bangka Selatan, mencuat dalam berbagai percakapan warga dan penggiat lingkungan.
Namun, saat dikonfirmasi oleh tim investigasi KBO Babel, MG membantah keras keterlibatannya. Dalam pesan WhatsApp, ia menyampaikan:
"Terima kasih confirmnya. Mohon maaf, info tersebut tidaklah benar. Silakan langsung tanyakan kepada penambang atau pemilik PIP di lokasi. Dulu, saat CV resmi beroperasi, memang saya yang buka lokasi atas persetujuan nelayan dan warga. Tapi CV itu sudah lama sekali tidak aktif. Dulu, pada saat CV yang bekerja secara legalitas, betul saya yang buka lokasi tersebut atas persetujuan nelayan dan warga.Tapi CV sudah lama sekali tidak beraktifitas dilokasi tersebut lagi,' jelasnya.
Sementara itu, upaya konfirmasi kepada Bagong hingga berita ini diturunkan belum juga mendapatkan respons. Begitu pula dengan pihak Kapolres Bangka Selatan, yang belum memberikan penjelasan terkait lambannya tindakan terhadap tambang ilegal yang terus beroperasi.
Padahal, regulasi negara jelas. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), setiap kegiatan penambangan wajib memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP). Tanpa itu, operasi dinyatakan ilegal.
Dalam Pasal 158 UU Minerba disebutkan:
"Setiap orang yang melakukan usaha penambangan tanpa izin dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun dan denda paling banyak seratus miliar rupiah."
Namun, kenyataan di lapangan sangat kontras. Ponton-ponton terus beroperasi, seolah dilindungi, sementara masyarakat yang menjadi korban tak punya ruang bicara. Penegakan hukum terlihat selektif. Ada kesan, hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.
Kerusakan lingkungan pun semakin parah. Hutan mangrove yang dulu menjadi pelindung alami dari abrasi, tempat bertelur ikan, dan benteng ekologis pesisir, kini rusak akibat sedimentasi berat dan limbah tambang. Ekosistem pesisir yang rapuh mengalami kerusakan yang hampir tak bisa dipulihkan.
Nelayan lokal mengaku tak tahu lagi harus mengadu ke mana. Suara mereka kerap tenggelam, bahkan dianggap ancaman.
"Kami sudah sering lapor, tapi selalu mentok. Kalau bicara terlalu keras, malah kami yang dicurigai. Mau diam, tapi laut sudah hancur," ujar seorang nelayan dengan nada getir.
Situasi ini menciptakan krisis kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara. Ketika hukum tak lagi berpihak pada keadilan, dan para pengusaha tambang ilegal bisa beroperasi bebas dengan “uang setoran” sebagai pelindung, maka yang terjadi adalah erosi moral dan keadilan di tingkat paling dasar.
Fenomena ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi aparat penegak hukum dan pemerintah daerah. Sudah terlalu lama tambang ilegal menjadi “raja” di perairan Bangka, dan sudah terlalu lama pula nelayan menjadi korban yang dilupakan.
Negara harus bertindak. Tidak cukup hanya dengan klarifikasi, tapi dengan langkah hukum nyata. Siapapun yang terlibat—baik sipil maupun aparat—harus diperiksa dan jika terbukti bersalah, harus dihukum sesuai peraturan yang berlaku.
Karena di negara hukum, keadilan tak boleh bisa dibeli. Dan rakyat kecil tidak boleh terus dikorbankan demi kepentingan segelintir pihak. (Sandy Batman – KBO Babel)
Tags
Ilegal